Title: The Facticity Series: Me Inside Me
Materials: Silicone Rubber, Chromic Catgut, Fluorescent Light, Air pump Mechanism
Dimension: 200cm x 80cm x 90cm
Year: 2008
05 May 2010
Hiburan Koran Tempo
Bandung New Emergence (BN E) merupakan pameran dua tahunan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Digelar pertama kali pada 2006, pameran itu bertujuan memetakan perkem-. bangan seni rupa kontemporer di Bandung melalui karya-karya perupa muda yang baru muncul. Pemilihan artis oleh seleksi kura-torial itu berdasarkan karya yang dihasilkan, atau keterlibatan mereka dalam proyek-proyek seni ataupun workshop, serta berpameran setidaknya dalam dua-tiga tahun terakhir.
Menurut1 kurator Agung Hujatnikajennong, ia selalu memakai metode dan seleksi yang berbeda-beda di tiap acara. "BNE adalah peristiwa unik yang selalu ingin menghadirkan kejutan danwacana-wacana baru yang memperkaya khazanah penciptaan dan pembacaan praktek seni rupa kontemporer di Indonesia," katanya,BNE perdana pada 2000 menampilkan karya para kelompok perupa Bandung, seperti TROMARAMA. Abstra-x, Restart, ASAP, dan Button Kultur. "Saat itu ada gejala khas seniman berkelompok dengan berbagai alasan," ujarnya.
Pada 2008, BNE menghubungkan budaya kreatif lewat mode pakaiandan musik. Peserta tak hanya perupa, tapi juga melibatkan para perancang baju dan musisi. Mereka dianggap lebih mewakili ciri khas budayaanak muda di Bandungyang menipiskan batas seni dan budaya populer, seperti GHOST (Agra Satria dan Yasmina Yustiviani), J. Ariadhitya Pramuhendra, dan Tommy Aditama Putra.Kali ini, BNE ketiga mempertemukan perupa muda dan tua li Bandung serta pengaruhnya dalam karya. Nurdian Ichsan, Prilla
Tania, dan R.E. Hartanto menjadi teman diskusi seniman-seni-man muda, seperti Bagus Pandega, Banung Grahita, Dita Gambiro, dan Dilla Martina Ayulia.BNE, kata Agung, lahir da kecewa ketika rencana membuat Bandung Bienalle padi 2001 gagal karena banyak hambatan. Agar kreativitas pim upa Bandung tetap menyala, bersama pemilik Selasar Sunaryo, mereka sepakat menggelar semibienalle rutin Bandung New Emergence. vwm6wn
Hiburan Koran Tempo
Bandung New Emergence (BN E) merupakan pameran dua tahunan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Digelar pertama kali pada 2006, pameran itu bertujuan memetakan perkem-. bangan seni rupa kontemporer di Bandung melalui karya-karya perupa muda yang baru muncul. Pemilihan artis oleh seleksi kura-torial itu berdasarkan karya yang dihasilkan, atau keterlibatan mereka dalam proyek-proyek seni ataupun workshop, serta berpameran setidaknya dalam dua-tiga tahun terakhir.
Menurut1 kurator Agung Hujatnikajennong, ia selalu memakai metode dan seleksi yang berbeda-beda di tiap acara. "BNE adalah peristiwa unik yang selalu ingin menghadirkan kejutan danwacana-wacana baru yang memperkaya khazanah penciptaan dan pembacaan praktek seni rupa kontemporer di Indonesia," katanya,BNE perdana pada 2000 menampilkan karya para kelompok perupa Bandung, seperti TROMARAMA. Abstra-x, Restart, ASAP, dan Button Kultur. "Saat itu ada gejala khas seniman berkelompok dengan berbagai alasan," ujarnya.
Pada 2008, BNE menghubungkan budaya kreatif lewat mode pakaiandan musik. Peserta tak hanya perupa, tapi juga melibatkan para perancang baju dan musisi. Mereka dianggap lebih mewakili ciri khas budayaanak muda di Bandungyang menipiskan batas seni dan budaya populer, seperti GHOST (Agra Satria dan Yasmina Yustiviani), J. Ariadhitya Pramuhendra, dan Tommy Aditama Putra.Kali ini, BNE ketiga mempertemukan perupa muda dan tua li Bandung serta pengaruhnya dalam karya. Nurdian Ichsan, Prilla
Tania, dan R.E. Hartanto menjadi teman diskusi seniman-seni-man muda, seperti Bagus Pandega, Banung Grahita, Dita Gambiro, dan Dilla Martina Ayulia.BNE, kata Agung, lahir da kecewa ketika rencana membuat Bandung Bienalle padi 2001 gagal karena banyak hambatan. Agar kreativitas pim upa Bandung tetap menyala, bersama pemilik Selasar Sunaryo, mereka sepakat menggelar semibienalle rutin Bandung New Emergence. vwm6wn
Title: Pandora
Materials: Wood, Vintage Turntable, Brass, Plastic, Acrylic, LED, Electronic System
Dimension: 110cm x 60cm x 40cm
Year: 2010
Title: Pandora #2
Materials: Wood, Vintage Turntable, LED, Plastic, Acrylic, Stainless Steel, Electronic System
Dimension: 140cm x 50cm x 50cm
Year: 2010
Beyond the Dutch
Indonesia, the Netherlands, and the visual arts, from 1900 until now
16 oct 2009 - 10 jan 2010
The Dutch colonization of Indonesia has left many traces in the development of both countries. This also applies to the visual arts. Between 16 October 2009 and 10 January 2010, the Centraal Museum presents a major retrospective, which is fully dedicated to the interaction between the Dutch and Indonesian visual arts. ‘Beyond the Dutch. Indonesia, the Netherlands and the visuals arts from 1900 until now’ offers an innovative insight into the influence of Dutch culture on Indonesian visual arts and vice versa. The exhibition analyses the cultural legacy of colonialism and the drastic changes that came forth from the process of decolonization. We also take a look at the present situation: are there still collective influences? ‘Beyond the Dutch’ stimulates the audience to look at the Indonesian visual arts from a different point of view.
From a different point of view
People look at the world around them from their own cultural framework. Customs, traditions and ideas about beauty originate, to an important extent, from education and surroundings. This also goes for the interpretation and experience of the visual arts. The Dutch museum-goer in general has a view that is determined by Western art criteria. How can you learn to rate works of art from other cultures at their true value? And what are the consequences for your personal opinion and ideas about visual arts? The exhibition ‘Beyond the Dutch’ asks these questions, on the basis of three crucial periods from Dutch-Indonesian history.
Collective history
‘Beyond the Dutch’ focuses on three periods: cultural influencing during the colonial period of about 1900, the consequences of decolonization and independence (about 1950) and the present period of post-colonialism (about 2000). From each period a selection of works is showed which together presents us with a good impression of collective influences within the visuals arts. There are works on display by more than forty artists including Raden Saleh, Abdullah Suriosubroto, Jan Toorop, Isaac Israels, Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono, Piet Ouborg, Charles Sayers, Heri Dono, Agus Suwage, Mella Jaarsma and Tiong Ang.This major retrospective shows how Indonesian artists over the years have broken new ground; they are 'Beyond the Dutch'.
Presented with the exhibition is a publication written in both Dutch and English, edited by Prof. Dr. Kitty Ziljmans, Dr. Remco Raben and Meta Knol, curator of the exhibition, and published by KIT Publishers, Amsterdam.
'Beyond the Dutch' is cordially supported by the Indonesian embassy in the Hague and by the Dutch embassy in Indonesia.
Installation View of 'Singer: Magical Mystery Tour':
Ema Nur Arifah - detikBandung
FOTO TERKAIT
Menigntip Karya Seni
Bandung - Pengunjung dibuat agak tercengang ketika menemukan tidak ada display karya. Hanya dinding putih yang membentang kosong. Bersinergi dengan kurasi yang menyambut di depan dan dibuat acak, tulisan tak beraturan, yang menyatakan apa yang mungkin kita tahu tentang seni itu adalah salah.
Ruang berukuran 4x7 meter dengan tinggi sekitar 2 meter itu, adalah refleksi dari pameran bertajuk 'Everything You Know About Art is Wrong'. Seolah membantah paradigma tentang pameran, display karya, sebuah kurasi atau segala aturan-aturan baku sebuah pameran. Karena mata hanya bisa mengintip karya dari lubang sebesar jari orang dewasa yang tersebar di beberapa titik ruang.
Pameran yang digelar di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space dari 17-31 Desember ini, menyuguhkan 10 karya seni kontemporer dari 11 orang perupa, alumni seni rupa Institut Teknologi Bandung.
Sebut saja nama-nama seperti Bagus Pandega dengan karyanya Anditrecords Audio System, kolaborasi Octora dan Cecilia Patricia Oentario dengan tajuk 'Perempuan merah', Gabriel Aries 'Dasamuka' atau Faisal Habibi dengan Hybridize, Table x Mirror.
Tapi bukan hanya karya-karya itu yang dijadikan pijakan, namun konsep pameran itu sendiri. Bahkan, kurator, Aminudin TH Siregar atau akrab disapa Ucok pun membuat kurasi dengan menggabungkan penggalan-penggalan narasi dalam internet.
"Ingin menghilangkan kemanjaan-kemanjaan alamiah sebagai mekanisme pameran," ujar Ucok dalam pembukaan pameran beberapa waktu lalu.
Para perupa diberikan kebebasan berkarya tanpa dibebani dengan deadline, pemilik galeri, mekanisme pameran yang baku, bahkan mencoba mengubah paradigma ekstrim kalau pameran itu mungkin tak perlu selalu dilihat.
Tapi paradigma itu malah memunculkan reaksi sebaliknya. Ruang yang tertutup dan hanya terbuka di bagian atas, mengundang penasaran pengunjung untuk melihat, bahkan rela mengantre untuk bisa memandang karya lebih dekat.
Sejumlah siswa SD Al-Hidayah yang menjadi 'triger' saat membuka acara juga didaulat sebagai guide pameran. Mengajak pengunjung melihat karya dalam sudut pandang mereka, mata anak-anak.
Bahkan lucunya, seorang siswa, memiripkan karya Octora Cecilia Patricia Oentario, 'perempuan merah' dengan bintang porno asal Jepang, 'Maria Ozawa'. Bocah SD itu ia mengatakan, bahwa karya itulah yang paling 'berseni' di matanya.
Barangkali, hal inilah yang ingin disampaikan Aminudian dan para perupa. Seperti Aminudian katakan dalam kurasi penutupnya, bahwa pameran ini untuk mengingatkan kembali 'segala hal yang anda ketahui mengenai seni selama ini adalah salah'.(ema/ern)
FOTO TERKAIT
Menigntip Karya Seni
Bandung - Pengunjung dibuat agak tercengang ketika menemukan tidak ada display karya. Hanya dinding putih yang membentang kosong. Bersinergi dengan kurasi yang menyambut di depan dan dibuat acak, tulisan tak beraturan, yang menyatakan apa yang mungkin kita tahu tentang seni itu adalah salah.
Ruang berukuran 4x7 meter dengan tinggi sekitar 2 meter itu, adalah refleksi dari pameran bertajuk 'Everything You Know About Art is Wrong'. Seolah membantah paradigma tentang pameran, display karya, sebuah kurasi atau segala aturan-aturan baku sebuah pameran. Karena mata hanya bisa mengintip karya dari lubang sebesar jari orang dewasa yang tersebar di beberapa titik ruang.
Pameran yang digelar di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space dari 17-31 Desember ini, menyuguhkan 10 karya seni kontemporer dari 11 orang perupa, alumni seni rupa Institut Teknologi Bandung.
Sebut saja nama-nama seperti Bagus Pandega dengan karyanya Anditrecords Audio System, kolaborasi Octora dan Cecilia Patricia Oentario dengan tajuk 'Perempuan merah', Gabriel Aries 'Dasamuka' atau Faisal Habibi dengan Hybridize, Table x Mirror.
Tapi bukan hanya karya-karya itu yang dijadikan pijakan, namun konsep pameran itu sendiri. Bahkan, kurator, Aminudin TH Siregar atau akrab disapa Ucok pun membuat kurasi dengan menggabungkan penggalan-penggalan narasi dalam internet.
"Ingin menghilangkan kemanjaan-kemanjaan alamiah sebagai mekanisme pameran," ujar Ucok dalam pembukaan pameran beberapa waktu lalu.
Para perupa diberikan kebebasan berkarya tanpa dibebani dengan deadline, pemilik galeri, mekanisme pameran yang baku, bahkan mencoba mengubah paradigma ekstrim kalau pameran itu mungkin tak perlu selalu dilihat.
Tapi paradigma itu malah memunculkan reaksi sebaliknya. Ruang yang tertutup dan hanya terbuka di bagian atas, mengundang penasaran pengunjung untuk melihat, bahkan rela mengantre untuk bisa memandang karya lebih dekat.
Sejumlah siswa SD Al-Hidayah yang menjadi 'triger' saat membuka acara juga didaulat sebagai guide pameran. Mengajak pengunjung melihat karya dalam sudut pandang mereka, mata anak-anak.
Bahkan lucunya, seorang siswa, memiripkan karya Octora Cecilia Patricia Oentario, 'perempuan merah' dengan bintang porno asal Jepang, 'Maria Ozawa'. Bocah SD itu ia mengatakan, bahwa karya itulah yang paling 'berseni' di matanya.
Barangkali, hal inilah yang ingin disampaikan Aminudian dan para perupa. Seperti Aminudian katakan dalam kurasi penutupnya, bahwa pameran ini untuk mengingatkan kembali 'segala hal yang anda ketahui mengenai seni selama ini adalah salah'.(ema/ern)
Title: Anditrecords Audio System
Materials: Wooden Box, Motor, Daily Objects, Graphic LP (Long Play)
Dimension: 120cm x50cm x50cm
Year: 2009
Title: I-traffic
Materials: Ipod Touch, LED, Cement, Metal Pipe, Speakers, Electronic and Audio System
Dimension: 50cm x50cm x 350 cm
Year: 2009
Suara Karya Online
Sabtu, 3 Oktober 2009
Poster film, komik, mainan di tahun 70 - 80-an, benda-benda yang tidak berfungsi atau ketinggalan jaman, bisa disulap menjadi sebuah karya seni. Kreatifitas ini diangkat sejumlah seniman yaitu Aprilia Apsari, Bagus Pendega (Adit), Bambang TOKO Witjaksono, Radi Arwinda, Terra Bajraghosa, Uji Handoko Eko Saputra, Wiyoga Muhardanto, dan Yasmina Yustiviani.
Seniman dari berbagai latar belakang pendidikan senirupa ini tampil dalam pameran bertajuk Regression - The Past is Now and Tomorrow di Plaza Indonesia baru-baru ini dibuka oleh pencinta seni Daniel Komala. Pameran yang diselenggarakan Edwins Gallery, merupakan pameran ke-2 dari 4 rangkaian pameran Reach Art Project!. Boleh dikatakan jarang galeri pimpinan Edwin Rahardjo ini menyelenggarakan pameran di luar kandang. Alasan pameran di mal, menurut Edwin supaya lebih dekat dengan publik untuk mengenalkan karya senirupa yang kreatif dam inovatif.
Kurator Agung Hujatnika Jennong menilai karya-karya objek, drawing, lukisan dan fotografi yang ditampilkan seniman-seniman muda Indonesia ini memiliki kecenderungan mendaur-ulang aikon-aikon atau tanda-tanda dari masa lalu, terutama dalam kebudayaan pop.
"Seniman ini ingin menampilkan karya yang sifatnya nostalgia, mengingatkan kita pada masa lalu. Kebetulan semuanya dari kebudayaan pop yaitu film, musik, karakter komik dan obyek-obyek nostalgia," papar Agung. Jika dalam wacana ekonomi istilah Regression dipahami sebagai suatu gejala kemunduran, maka pameran ini melihat sikap regresi sebagai suatu daya yang justru menghidupkan kebudayaan. Masa lalu bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan dijadikan acuan untuk melihat masa depan.
Mesin Jahit
Sesuai tema pameran, para seniman mewujudkan karya yang bersentuhan dengan nostalgia masa lalu. Umpamanya, mesin jahit yang berfungsi untuk menjahit baju, ternyata bisa beralih sebagai instrumen musik, yang dirancang Bagus Pandega dalam karya berjudul Singer, Past-Post. Dalam karya ini mesin jahit dilengkapi perangkat pemutar piringan hitam tanpa banyak mendekonstruksi bentuknya. Aprilia Apsari menampilkan lukisan-lukisan yang menafsirkan film-film lama Indonesia, seperti Ali Topan dan Mat Peci. Pada karya-karya ini Apsari meminjam idiom poster, namun dengan komposisi penggambaran tokoh-tokoh pada poster film masa lalu seperti lukisan Benyamin S, Chrisye, Ali Topan, dan Mat Peci.
Di jaman dulu, kamera merk Leica termasuk yang populer, namun sekarang sudah tenggelam di tengah maraknya kamera digital. Wiyoga mencoba mendeformasi bentuk Leica yang bagian atasnya ditempatkan tutup kaleng kornet yang ada pembukanya, sementara lensa kamera mungkin mirip Leica yang seolah-olah menggambarkan sebuah kamera yang sebenarnya. Padahal karya tiga dimensional bertajuk Tin Lux ini cuma main-main. Bambang dalam karyanya "I 'd Rather Go Blind" digarap berdasarkan sebuah gambar umbul, mainan anak-anak Indonesia berupa kartu yang digambar dan dicetak dengan teknik sederhana, yang populer pada 70 - 80-an. Cerita dalam gambar tersebut mengadopsi komik Indonesia antara lain Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH.
Radi Arwinda, yang pernah tumbuh bersama tokoh-tokoh budaya pop Jepang, sekaligus hidup di tengah lingkungan sosial yang sangat menghargai budaya tradisi, khususnya Cirebon. Hal ini diwujudkan dalam karyanya "Ra64-Raxosobuto", di mana karakter Gundam tengah mengenakan kostum dengan berbagai motif batik khas Cirebon yang auratik dan mistis. Karya ini menyuarakan nuansa nostalgia masa kecil, sekaligus pertanyaan tentang identitas diri di era global.
Seniman Terra Bajraghosa melihat sebuah fenomena yang menarik lewat lukisannya Fixing the Five, memanfaatkan representasi dari proses penyerapan budaya pop Jepang di Indonesia. Lukisan ini menampilkan sesosok perempuan setengah robot, menggambarkan bagian kepala sosok ini dengan topeng-topengan robot. Selain bentuknya yang khas, topeng-topengan Voltus-V itu menarik karena dipopulerkan oleh pasar pinggiran semacam pasar malam, sekaten, atau di kaki lima yang menurut Agung ada dekat kebun binatang Gembira Loka di Yogyakarta.
Karya Yasmina, Love me Tender, menghadirkan narasi personal yang dipengaruhi oleh keinginan melakukan intervensi pada cerita yang populer melalui televisi, The Muppet Show. Pada karya Yasmina, karakter-karakter binatang dalam film yang populer pada 80-an itu digambarkan tengah menyambangi dunia binatang yang sebenarnya. Demikian juga karya post modern Uji Handoko The Sailor. Boleh dikatakan karya para seniman ini sebagai inspiratif memanfaatkan nuansa masa lalu yang melahirkan kreatifitas yang tidak habis-habisnya. (Susianna)
Sabtu, 3 Oktober 2009
Poster film, komik, mainan di tahun 70 - 80-an, benda-benda yang tidak berfungsi atau ketinggalan jaman, bisa disulap menjadi sebuah karya seni. Kreatifitas ini diangkat sejumlah seniman yaitu Aprilia Apsari, Bagus Pendega (Adit), Bambang TOKO Witjaksono, Radi Arwinda, Terra Bajraghosa, Uji Handoko Eko Saputra, Wiyoga Muhardanto, dan Yasmina Yustiviani.
Seniman dari berbagai latar belakang pendidikan senirupa ini tampil dalam pameran bertajuk Regression - The Past is Now and Tomorrow di Plaza Indonesia baru-baru ini dibuka oleh pencinta seni Daniel Komala. Pameran yang diselenggarakan Edwins Gallery, merupakan pameran ke-2 dari 4 rangkaian pameran Reach Art Project!. Boleh dikatakan jarang galeri pimpinan Edwin Rahardjo ini menyelenggarakan pameran di luar kandang. Alasan pameran di mal, menurut Edwin supaya lebih dekat dengan publik untuk mengenalkan karya senirupa yang kreatif dam inovatif.
Kurator Agung Hujatnika Jennong menilai karya-karya objek, drawing, lukisan dan fotografi yang ditampilkan seniman-seniman muda Indonesia ini memiliki kecenderungan mendaur-ulang aikon-aikon atau tanda-tanda dari masa lalu, terutama dalam kebudayaan pop.
"Seniman ini ingin menampilkan karya yang sifatnya nostalgia, mengingatkan kita pada masa lalu. Kebetulan semuanya dari kebudayaan pop yaitu film, musik, karakter komik dan obyek-obyek nostalgia," papar Agung. Jika dalam wacana ekonomi istilah Regression dipahami sebagai suatu gejala kemunduran, maka pameran ini melihat sikap regresi sebagai suatu daya yang justru menghidupkan kebudayaan. Masa lalu bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan dijadikan acuan untuk melihat masa depan.
Mesin Jahit
Sesuai tema pameran, para seniman mewujudkan karya yang bersentuhan dengan nostalgia masa lalu. Umpamanya, mesin jahit yang berfungsi untuk menjahit baju, ternyata bisa beralih sebagai instrumen musik, yang dirancang Bagus Pandega dalam karya berjudul Singer, Past-Post. Dalam karya ini mesin jahit dilengkapi perangkat pemutar piringan hitam tanpa banyak mendekonstruksi bentuknya. Aprilia Apsari menampilkan lukisan-lukisan yang menafsirkan film-film lama Indonesia, seperti Ali Topan dan Mat Peci. Pada karya-karya ini Apsari meminjam idiom poster, namun dengan komposisi penggambaran tokoh-tokoh pada poster film masa lalu seperti lukisan Benyamin S, Chrisye, Ali Topan, dan Mat Peci.
Di jaman dulu, kamera merk Leica termasuk yang populer, namun sekarang sudah tenggelam di tengah maraknya kamera digital. Wiyoga mencoba mendeformasi bentuk Leica yang bagian atasnya ditempatkan tutup kaleng kornet yang ada pembukanya, sementara lensa kamera mungkin mirip Leica yang seolah-olah menggambarkan sebuah kamera yang sebenarnya. Padahal karya tiga dimensional bertajuk Tin Lux ini cuma main-main. Bambang dalam karyanya "I 'd Rather Go Blind" digarap berdasarkan sebuah gambar umbul, mainan anak-anak Indonesia berupa kartu yang digambar dan dicetak dengan teknik sederhana, yang populer pada 70 - 80-an. Cerita dalam gambar tersebut mengadopsi komik Indonesia antara lain Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH.
Radi Arwinda, yang pernah tumbuh bersama tokoh-tokoh budaya pop Jepang, sekaligus hidup di tengah lingkungan sosial yang sangat menghargai budaya tradisi, khususnya Cirebon. Hal ini diwujudkan dalam karyanya "Ra64-Raxosobuto", di mana karakter Gundam tengah mengenakan kostum dengan berbagai motif batik khas Cirebon yang auratik dan mistis. Karya ini menyuarakan nuansa nostalgia masa kecil, sekaligus pertanyaan tentang identitas diri di era global.
Seniman Terra Bajraghosa melihat sebuah fenomena yang menarik lewat lukisannya Fixing the Five, memanfaatkan representasi dari proses penyerapan budaya pop Jepang di Indonesia. Lukisan ini menampilkan sesosok perempuan setengah robot, menggambarkan bagian kepala sosok ini dengan topeng-topengan robot. Selain bentuknya yang khas, topeng-topengan Voltus-V itu menarik karena dipopulerkan oleh pasar pinggiran semacam pasar malam, sekaten, atau di kaki lima yang menurut Agung ada dekat kebun binatang Gembira Loka di Yogyakarta.
Karya Yasmina, Love me Tender, menghadirkan narasi personal yang dipengaruhi oleh keinginan melakukan intervensi pada cerita yang populer melalui televisi, The Muppet Show. Pada karya Yasmina, karakter-karakter binatang dalam film yang populer pada 80-an itu digambarkan tengah menyambangi dunia binatang yang sebenarnya. Demikian juga karya post modern Uji Handoko The Sailor. Boleh dikatakan karya para seniman ini sebagai inspiratif memanfaatkan nuansa masa lalu yang melahirkan kreatifitas yang tidak habis-habisnya. (Susianna)
Title: Singer: Past-Post
Materials: Vintage Sewing Machine, LED, Turntable, Electronic and Audio System
Dimension: 90cm x 80cm x 40 cm
Year: 2009
Title: Gallop Box
Materials: Acrylic, Guitar Parts, Turntable, Baby Piano Toy
Dimension: 50cm x 60cm x 130cm
Year: 2009
Jum'at, 01 Mei 2009 | 09:16 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Alat jahit pada mesin jahit kuno bermerek Singer itu dihilangkan. Sebagai gantinya, ditanam pemutar piringan hitam model lama. Begitupun bila kita membuka laci-laci penyimpan, bukan benang dan jarum yang kita temukan, melainkan sepasang pengeras suara. Cobalah genjot pijakan kaki mesin jahit itu. Maka melantunlah lagu-lagu The Beatles dari album Magical Mystery Tour.
Di SIGIarts Gallery, di kawasan Jalan Mahakam, Jakarta, karya berjudul Singer: Magical Mystery Tour itu langsung merangsang para pengunjung untuk menjajalnya. Butuh teknik tertentu untuk menjaga tempo lagu sesuai aslinya. Bila ayunan kaki kita tak stabil, suara yang keluar pun meliuk-liuk. Ingin loncat ke lagu I Am The Walrus? Pindahkan saja jarum pembaca piringan.
Pembuatnya adalah Bagus Pandega, 23 tahun, perupa muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia mendapatkan mesin jahit lawas itu di toko loak di daerah Cikapundung, Bandung. Merek Singer membersitkan ide di benak Bagus, untuk menjadikan mesin jahit itu "penyanyi" betulan.
Matinya era vinyl dan turntable ia rayakan di karya lainnya, berjudul Untitled. Ada 80 piringan hitam ditumpuk, tapi dipotong satu demi satu untuk menyusun kontur membentuk tengkorak. Bila steker ditekan, mesin pemutar bekerja dan berotasilah tumpukan piringan hitam kematian itu.
Dua karya Bagus merupakan karya terkuat dalam pameran bertajuk "Contemporary Archeology" itu. Total ada 15 perupa Bandung yang ikut pameran. Umur mereka sekitar 25 tahun. Hampir semuanya pematung dari FSRD ITB, kecuali Erwin (Seni Rupa IKIP Bandung), Alberd Tisa Nadya (keramik, ITB), dan Yuki Agria (desain interior, ITB).
Kita tak mendapati patung dalam makna tradisionalnya. Menurut kurator Asmudjo Jono Irianto, yang juga dosen FSRD ITB, salah satu premis yang hendak dibangun adalah mencairnya batasan seni patung.
Lihatlah karya Cecilia Patricia, berupa chandelier--lampu-lampu kaca menggantung di tengah ruangan galeri. Semua bentuk lampunya ia buat menyerupai kondom berbagai motif. Ada yang bertotol-totol, berulir, berujung tajam, hingga "kondom" tumpul. "Karena ini daerah Mahakam, saya bentuklah kaca-kaca menjadi kondom," kata Cecilia. Kawasan Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, memang bila malam hari pernah sangat dikenal dengan kegiatan seks komersialnya.
Lihat juga Play Me karya Erwin Windu Pranata. Dua kapsul besar setinggi satu meter. Yang satu dibungkus gambar terkenal kaleng sup Campbellnya Andy Warhol, sedangkan yang satu lagi mengapropriasi Jean-Michel Basquiat, lengkap dengan tulisan khas Basquiat: SAMO (same old shit). Kedua kapsul ini, bila didorong, akan mengeluarkan suara makian. Mekanisme pemberat pada kapsul selalu mengembalikannya ke posisi berdiri.
Karya-karya lainnya pun memiliki daya tarik, terutama karena kita dengan mudah mengenali benda yang "dipinjam" para seniman dalam kehidupan sehari-hari. Seperti karya Wiyoga Muhardanto, Cellphone. Ia menampilkan sebuah telepon genggam yang baterainya tengah diisi di stopkontak. Dari bentuk telepon genggamnya--kabel hingga colokan di dinding persis aslinya--membuat penonton bisa menduga bahwa itu memang telepon genggam yang tengah di-charge. Pada karya lain, The Real Thing, Wiyoga menampilkan obyek meteran listrik dan menambahkan sabuk pinggang yang terikat. Mungkin ia berpesan, hematlah listrik.
Karya-karya anak-anak ITB ini agaknya merefleksikan cara pandang yang mewakili perupa muda saat ini. Mereka main-main dengan barang sehari-hari. Tak penting mempertanyakan kedalaman ide para seniman itu. Tingkat pencapaian adalah ketika mereka mampu secara nakal dan cerdas memelesetkan pemaknaan dan fungsi benda sehari-hari. "Pameran ini seperti mengingatkan untuk memeriksa ulang perbendaharaan komoditas masa kini," kata Asmudjo. Pameran ini, kata dia, adalah arkeologi, namun dengan obyek benda-benda dari masa sekarang.
IBNU RUSYDI
TEMPO Interaktif, Jakarta: Alat jahit pada mesin jahit kuno bermerek Singer itu dihilangkan. Sebagai gantinya, ditanam pemutar piringan hitam model lama. Begitupun bila kita membuka laci-laci penyimpan, bukan benang dan jarum yang kita temukan, melainkan sepasang pengeras suara. Cobalah genjot pijakan kaki mesin jahit itu. Maka melantunlah lagu-lagu The Beatles dari album Magical Mystery Tour.
Di SIGIarts Gallery, di kawasan Jalan Mahakam, Jakarta, karya berjudul Singer: Magical Mystery Tour itu langsung merangsang para pengunjung untuk menjajalnya. Butuh teknik tertentu untuk menjaga tempo lagu sesuai aslinya. Bila ayunan kaki kita tak stabil, suara yang keluar pun meliuk-liuk. Ingin loncat ke lagu I Am The Walrus? Pindahkan saja jarum pembaca piringan.
Pembuatnya adalah Bagus Pandega, 23 tahun, perupa muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia mendapatkan mesin jahit lawas itu di toko loak di daerah Cikapundung, Bandung. Merek Singer membersitkan ide di benak Bagus, untuk menjadikan mesin jahit itu "penyanyi" betulan.
Matinya era vinyl dan turntable ia rayakan di karya lainnya, berjudul Untitled. Ada 80 piringan hitam ditumpuk, tapi dipotong satu demi satu untuk menyusun kontur membentuk tengkorak. Bila steker ditekan, mesin pemutar bekerja dan berotasilah tumpukan piringan hitam kematian itu.
Dua karya Bagus merupakan karya terkuat dalam pameran bertajuk "Contemporary Archeology" itu. Total ada 15 perupa Bandung yang ikut pameran. Umur mereka sekitar 25 tahun. Hampir semuanya pematung dari FSRD ITB, kecuali Erwin (Seni Rupa IKIP Bandung), Alberd Tisa Nadya (keramik, ITB), dan Yuki Agria (desain interior, ITB).
Kita tak mendapati patung dalam makna tradisionalnya. Menurut kurator Asmudjo Jono Irianto, yang juga dosen FSRD ITB, salah satu premis yang hendak dibangun adalah mencairnya batasan seni patung.
Lihatlah karya Cecilia Patricia, berupa chandelier--lampu-lampu kaca menggantung di tengah ruangan galeri. Semua bentuk lampunya ia buat menyerupai kondom berbagai motif. Ada yang bertotol-totol, berulir, berujung tajam, hingga "kondom" tumpul. "Karena ini daerah Mahakam, saya bentuklah kaca-kaca menjadi kondom," kata Cecilia. Kawasan Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, memang bila malam hari pernah sangat dikenal dengan kegiatan seks komersialnya.
Lihat juga Play Me karya Erwin Windu Pranata. Dua kapsul besar setinggi satu meter. Yang satu dibungkus gambar terkenal kaleng sup Campbellnya Andy Warhol, sedangkan yang satu lagi mengapropriasi Jean-Michel Basquiat, lengkap dengan tulisan khas Basquiat: SAMO (same old shit). Kedua kapsul ini, bila didorong, akan mengeluarkan suara makian. Mekanisme pemberat pada kapsul selalu mengembalikannya ke posisi berdiri.
Karya-karya lainnya pun memiliki daya tarik, terutama karena kita dengan mudah mengenali benda yang "dipinjam" para seniman dalam kehidupan sehari-hari. Seperti karya Wiyoga Muhardanto, Cellphone. Ia menampilkan sebuah telepon genggam yang baterainya tengah diisi di stopkontak. Dari bentuk telepon genggamnya--kabel hingga colokan di dinding persis aslinya--membuat penonton bisa menduga bahwa itu memang telepon genggam yang tengah di-charge. Pada karya lain, The Real Thing, Wiyoga menampilkan obyek meteran listrik dan menambahkan sabuk pinggang yang terikat. Mungkin ia berpesan, hematlah listrik.
Karya-karya anak-anak ITB ini agaknya merefleksikan cara pandang yang mewakili perupa muda saat ini. Mereka main-main dengan barang sehari-hari. Tak penting mempertanyakan kedalaman ide para seniman itu. Tingkat pencapaian adalah ketika mereka mampu secara nakal dan cerdas memelesetkan pemaknaan dan fungsi benda sehari-hari. "Pameran ini seperti mengingatkan untuk memeriksa ulang perbendaharaan komoditas masa kini," kata Asmudjo. Pameran ini, kata dia, adalah arkeologi, namun dengan obyek benda-benda dari masa sekarang.
IBNU RUSYDI
Title: Singer: Magical Mystery Tour
Materials: Vintage Sewing Machine, Vintage Turntable, Audio Systems, The Beatles Magical Mystery Tour LP (Long Play)
Dimension: 90cm x 80cm x 40cm
Year: 2009
Title: Untitled
Materials: Acrylic, Motor, Cutted LP (Long Play)
Dimension: 43cm x 33cm x 25cm
Year: 2009