Posted by Bagus Pandega On 05.03 0 comments

Ziarah dari Pintu ke Pintu
Dwidjo U. Maksum | 07 Februari 2011 | Seni Rupa
“There are things known and things unknown and in between are the Doors….”
KALIMAT terkenal Jim Morrison itu mungkin tepat untuk meresumekan niatan pameran 1001 Doors Reinterpreting Traditions” di Ciputra Marketing Gallery, Jakarta, yang dikuratori Asmujo Irianto. Kita ingat pada 1965 vokalis Jim Morrison, keyboardist Ray Manzarek, gitaris Robby Krieger, dan drumer John Densmore mengikrarkan The Doors sebagai nama band. Inspirasi nama itu mereka dapat dari selarik puisi penyair Inggris, William Blake (1757-1827): “If the doors of perception were cleansed every thing would appear as it is, infinite,” yang dikutip di buku Aldous Huxley, The Doors of Perception.
Sebanyak 101 perupa, arsitek, fotografer, desainer (mode, produk, interior, dan aksesori) yang diundang terlibat dalam pameran ini agaknya diharapkan mampu menyajikan kekayaan tafsir infinite atas pintu itu. Dari pintu sebagai simbol keamanan sampai jalan masuk arwah orang mati. Dari pintu sebagai metafor kerangkeng sampai hal yang darurat. Pintu adalah jembatan masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Tidak semua karya dalam acara yang digagas Galeri Lawang Wangi, Bandung, ini menggebrak. Beberapa perupa dan arsitek yang selama ini dikenal memiliki karya instalasi cemerlang seolah macet ide, karyanya tidak bunyi bila tidak dikatakan mengada-ada. Tapi beberapa perupa yang bukan tergolong “blue chip” justru karyanya cukup menggelitik.
Bila kita baca, secara umum titik tolak karya 101 seniman ini bertolak dari gagasan tradisi dan global atau hibrida dari keduanya. Pada Ulos Hela karya Altje Ully, misalnya, kita melihat ide berasal dari dunia adat. Ia menghadirkan pintu dengan jeruji jendela di bagian atasnya. Di dalamnya ada patung kepala mengenakan ulos. Seniman kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, ini ingin berbicara tentang keterkaitan perkawinan dan kematian di Tapanuli. Di sana ada adat orang tua mempelai perempuan memberikan ulos hela kepada mempelai pria. Kain itu kelak akan menjadi penutup jenazah sang mempelai pria saat meninggal.
Pada Bagus Pandega kita melihat sebuah pintu hitam sungguhan seolah terbuat dari baja, yang bisa bergerak sendiri dan berbunyi dengan irama ritme bandul jam. Akan halnya Budi Pradono menyajikan gerbang yang bentuknya futuris, tapi terbuat dari tumpukan gulungan koran dari berbagai negara. Ada De Telegraf, NRC Handelsblad, Broodje Barmhartigheid, juga koran berbahasa Rusia, Cina, dan Jepang.
Rata-rata imaji seniman terhadap pintu tidak begitu jauh dari bentuk pintu asli sehari-hari yang kita kenal. Bentuk pintu itu lalu dikreasi, diberi ornamen tambahan seperti motif mega mendung Cirebonan oleh Radi Arwinda, atau dipermak dibuat bolong-bolong oleh Mimi Fadmi. Lihat para seniman yang menggunakan pintu lawas. Pintu lawas itu diukir atau diberi ilustrasi lain. Pintu lawas sendiri rata-rata berbahan kayu jati tua dengan kunci berupa engsel, selot kayu geser, atau gembok yang eksotis.
Cantolan gemboknya bermacam-macam. Ada yang berupa dua cincin yang ditautkan dengan gembok, dan ada yang model knop bersayap dengan lengkungan tempat cantolan gembok seperti pintu gudang. Dipo Andy, misalnya, menghadirkan sebuah pintu jati lawas dengan pengunci selot kayu geser. Di sekujur pintu itu ia tempelkan 98 buah canting. Karyanya berjudul Canting Project #2.
Beberapa seniman membuat pintu dari bahan bekas. Lurus Jalan Terus karya Eko Prawoto berupa sepasang pintu lengkap dengan kusen yang dibuat dari kaleng bekas yang direkatkan dengan patri. Adapun Nandang Gawe menghadirkan sebuah lawang beroda yang dibangun dari beberapa roda bekas sepeda anak-anak, lempeng pelek sepeda, dan sisa-sisa potongan lis aluminium.
Beberapa pengecualian, mereka yang tidak menghadirkan asosiasi pintu konvensional misalnya I Wayan Sujana. Karyanya berjudul Phallus menggabungkan drum yang dicor beton dengan rajutan besi di bawahnya, yang menjadi simbol bertemunya lingga dan yoni. Pintu kecil tembus ke dasar drum menggambarkan adanya pintu kehidupan baru yang bakal muncul jika lingga-yoni bertemu. Atau karya Jatiwangi Factory, Memasuki Gerbang Mimpi, yang menghadirkan tujuh deretan bantal keramik. Ada orang yang seolah masuk ke bantal-bantal itu dan hanya tangannya di depan dan kakinya di belakang yang terlihat.
Asmudjo Irianto, kurator, membagi pameran “kolosal” ini menjadi sembilan kategori (Door to Traditional Space; Mining Door; Pintu Waktu; Connecting Door; Emergency Door; Virtual Door; Pintu Mimpi; Door, Soul and Spirituality; dan Seribu Satu Pintu). Sungguh pembagian yang menarik. Tapi, berjalan dari satu karya ke karya lain, yang tak terasa adalah perbedaan dari satu kategori ke kategori lain. Mungkin cara penempatan dan display yang terlalu dekat antara karya satu dan karya lain membuat muncul perasaan demikian. Bila sebuah karya dimanjakan dengan spasi ruang yang luas (yang mungkin di Galeri Ciputra), misteri pintu antara “known and unknown” yang diutarakan Jim Morrison itu pasti bisa mengemuka. Di situ ziarah dari pintu ke pintu barangkali tak terasa monoton.
Posted by Bagus Pandega On 04.33 0 comments
SABTU, 05 FEBRUARI 2011 | 09:03 WIB
Ada Kisah di Balik Pintu
TEMPO Interaktif, Jakarta -

Setiap dinding adalah pintu..
Setiap dinding atau halangan selalu ada pintu atau jalan keluar untuk perubahan.

Inilah interpretasi Sri Astari tentang sebuah pintu dalam karyanya bertajuk Every Wall is A Door. Pelukis yang dikenal luas sebagai Astari Rasjid ini menggunakan sebuah pintu gebyok dan dua patung boneka kayu setinggi hampir dua meter. Satu patung berdiri di belakang pintu, berwujud seorang perempuan Jawa berkebaya berwarna gelap dan berkain batik. Perempuan itu mengenakan sanggul lengkap dengan kembang goyang dan hiasan hitam di dahi yang biasa dikenakan perempuan Jawa kala menikah.

Perempaun itu menatap ke luar pintu. Di sana berdiri sebuah patung lainnya. Patung seorang perempuan berkebaya putih dan berkain batik . Di lengan kanan perempaun dengan rambut tergelung itu tersampir sebuah tas tangan. Sebuah koper besi tua tergeletak di sampingnya. Lewat karyanya itu, Astari mencoba membuka pintu menuju ruang-ruang tradisi.

Every Wall is A Door menjadi salah satu karya seni yang disuguhkan dalam pameran seni kontemporer bertajuk 1001 Doors: Reinterpreting Traditions di Ciputra World Marketing Gallery, Jalan Prof. Dr. Satrio, Jakarta Selatan. Melalui karya-karya yang ditampilkan, pameran ini mencoba menghadirkan keragaman warisan budaya Indonesia. Pintu menjadi medium penghubung untuk melihat dan menyaksikan warisan itu. Pintu juga diletakkan sebagai jalan masuk bagi para perupa untuk mempersoalkan warisan tradisi. Sebuah ruang yang terasa akrab sekaligus asing bagi generasi masa kini.

“Pameran ini memanfaatkan pintu sebagai jalan masuk untuk melihat bagaimana warisan tradisi dimanfaatkan dan dimaknai, khususnya para perupa kontemporer. Untuk itu pameran ini menampilkan sekaligus pintu tradisional sebagai warisan tradisi dan karya seni mengenai pintu oleh para perupa kontemporer,” jelas Asmudjo Jono Irianto, kurator pameran. Pintu tradisi diciptakan oleh komunitas tradisi, sedangkan karya seni yang inspirasinya berasal dari pintu merupakan realisasi gagasan seorang seniman.

Pameran yang digelar Jakarta Convention & Exhibition Bureau, ArtSociates, dan Ciputra Artpreneurship sejak 26 Januari hingga 6 Februari itu menampilkan hasil karya 101 seniman ternama Indonesia. Para seniman yang terdiri dari pelukis, perupa, arsitek, komunitas seni, desainer mode, desainer aksesori, desainer produk, desainer interior, fotografer, dan artis multimedia itu ditantang untuk menginterpretasikan tradisi dalam bentuk kontemporer. Untuk mempermudah pengunjung pameran mengapresiasi, karya-karya para seniman itu dikelompokan dalam delapan subtema, yakni Door to Traditional Space, Mining The Door, Pintu Waktu, Connecting Door, Emergency Door, Virtual Door, Pintu Mimpi, dan Door, Soul, and Spirituality.

Door to Traditional menampilkan karya-karya yang menegaskan upaya para seniman untuk membuka pintu ruang-ruang tradisi yang makin terpinggirkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pola tradisi umumnya hanya terlihat dalam perayaan beberapa titik penting perjalanan hidup manusia, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Karya-karya dalam kategori ini menunjukkan bahwa persoalan tradisi merupakan medan inspirasi yang cukup luas bagi para seniman kontemporer untuk mengolah gagasan seni.

Selain Astari, seniman lain yang mencoba membuka kembali pintu tradisi adalahYuli Prayitno. Yuli mengangkat permasalahan pintu dalam pengertian yang lebih harfiah. Lewat Pamali, karyanya berupa sebuah daun pintu yang catnya sudah mengelupas dan sebuah kursi kayu itu dia menemukan tabu yang cukup menarik dalam tradisi yang dianut masyarakat Sunda. Yakni larangan anak gadis duduk di depan pintu. Jika dilarang, konon sang gadis bakal sulit mendapat jodoh.

Pintu sebagai objek sehari-hari yang terkadang tidak disadari memberi peluang interpretasi yang sangat luas bagi Jimi Multazam dan beberapa seniman yang karyanya dikategorikan dalam subtema Mining the Door. Melalui karyanya yang berjudul unititled, dia ingin menunjukkan bahwa pintu adalah tempat untuk mendaratkan sticker atau apa pun bentuk gambar yang bagus.

Selanjutnya, kita akan diajak memasuki Pintu Waktu yang antara lain menampilkan karya Bagus Pandega, berupa pintu hitam yang bergerak-gerak ke kanan dan kiri, mirip bandul jam. Dari sana kita diajak memahami fungsi dasar pintu sebagai jalur penghubung antarruang Connecting Door, seperti yang tertuang dalam karya rumah produksi Cerahati Artwork, Jakarta. Dengan unik mereka menampilkan sebuah pintu kecil yang dapat dibuka. Ketika melongok kedalamnya, tampak tiga layar monitor yang berisi rekaman gambar dari tiga sudut pandang berbeda.

Tema selanjutnya, Emergency Door, didasarkan pada salah satu konsekuensi logis terhubungnya ruang-ruang kebudayaan, yakni konflik dan perselisihan. Emergency Door menyiratkan kepedulian seniman terhadap kondisi darurat situasi global dengan menciptakan karya seni yang berkaitan dengan isu sosial. Lain lagi dengan kategori Virtual Door yang berisi karya-karya hasil imajinasi para seniman tentang makna metaforis pintu secara virtual, seperti terlihat dalam karya Krisna Murti yang berjudul Poetry.

Dua tema lain Pintu Mimpi dan Door, Soul, and Spirituality menggenapi perjalanan menguak kisah-kisah dibalik pintu. Pintu Mimpi yang memajang karya Aprilia Apsari, Noor Ibrahim, Nindityo Adipurnomo, dan Jatiwangi Art Factory itu merefleksikan mimpi dan harapan. Seperti yang terefleksikan dalam karya Nindityo . Karya berjudul Post olerance Trophy 2011 bercerita tentang kedamaian dan toleransi umat beragama. Sebuah harapan sederhana namun sulit diwujudkan , laiknya sebuah mimpi.

Karya-karya para seniman itu memang terkelompok dalam beragam tema. Namun , sebagai karya seni rupa kontemporer, karya-karya tersebut merupakan jalinan narasi yang kompleks dan multi tafsir. Seperti kata Ayu Utami dalam esai tulisan Paradoks Pintu Kota, “Pintu bagaikan paradoks. Pada awalnya, ia adalah kemungkinan yang dibukakan. Pada akhirnya, ia lebih menjadi daun daripada bingkai.”


NUNUY NURHAYATI

http://www.tempo.co/read/news/2011/02/05/114311216/Ada-Kisah-di-Balik-Pintu
Title: Delayed Space
Materials: Wooden doors, brass coated steel, fluorescent light, motor, electronic switch, speaker, audio amplifier
Dimension: 200cm x 40cm x 25cm
Year: 2011

About Me

I'm a young emerging artist interested in sounds, lights, and kinetics work to be applied in my artworks.

Contact me:

baguspandega[at]gmail.com
follow me on twitter and instagram
@baguspandega

Label

Archive